2009/09/10

Psikologis Puasa

Bulan Ramadhan memang menyimpan berjuta makna, pesona, serta harapan untuk kembali menjadi fitri. Namun, tidak semua orang bisa menangkap makna dan menikmati pesonanya. Apalagi mencapai tujuan akhir, kembali ke fitroh, menjadi orang yang terlahir kembali. Perjuangan berat harus dilampaui. Tidak hanya sekedar menahan rasa haus dan lapar, tantangan terberat di balik itu justru pengendalian diri, yang merupakan kunci keberhasilan mencapai tujuan saum Ramadhan.
Pengendalian diri, terdengar mudah tapi sulit untuk dilakukan. Orang terlihat makin sensitif. Kesenggol sedikit saja, caci maki dan sumpah serapah keluar. Kalau perlu clurit melayang. Dalam keadaan seperti ini, Puasa Ramadhan seakan menjadi oase di tengah tandusnya padang pasir.
Ibarat mobil yang penuh lumpur setelah perjalanan panjang, puasa ramadhan adalah saat dimana mobil harus dicuci dan diservis ulang. Setelah hampir satu tahun kita bergelimang dengan urusan duniawi, kita diberi waktu satu bulan penuh untuk instrospeksi, belajar mengendalikan emosi, dan menata ulang diri kita.
Diungkapkan oleh Zillman dalam buku Emotional Intelligence, bila seseorang sedang berada dalam kondisi tidak bisa mengendalikan diri, maka akan terjadi “pembajakan emosi”. Tubuh akan dikuasai oleh emosi hebat, sehingga sedikit saja distimulasi, maka muncul emosi berikutnya dengan intensitas yang makin tinggi (baca:emosi negatif). Dalam rangkaian ini, pikiran atau persepsi yang dapat memicu emosi berikutnya merupakan pemicu minor yang mengakibatkan terjadinya peningkatan katekolamin yang dibangkitkan oleh amigdala dalam otak, dan masing-masing berdasarkan peningkatan hormon yang muncul sebelumnya. Peningkatan kedua muncul sebelum yang pertama mereda, dan yang ketiga menumpuk di atasnya, demikian seterusnya. Masing-masing gelombang menumpuk di ujung gelombang sebelumnya, yang dengan cepat menambah kadar perangsangan fisiologis tubuh. Gelombang emosi negatif akan terus bersambung dan rangkaian panjang ini memicu intensitas emosi yang lebih hebat dari pada emosi di awal rangkaian. Pada saat itu, emosi sulit dikendalikan oleh nalar, dan dengan mudah meletus menjadi tindak kekerasan. Emosi negatif akan hilang ketika rangkaian panjang gelombang mereda dan terputus.
Emosi yang kuat akan mengacaukan ingatan kerja seseorang (mengingat dan berpikir). Jika emosi negatif berlangsung terus menerus, maka kemungkinan akan timbul cacat pada kemampuan intelektual dan melemahkan kemampuan belajar seseorang. Disamping itu, orang-orang yang terus menerus dilanda emosi negatif beresiko dua kali lipat terserang penyakit, termasuk asma, artritis, sakit kepala, tukak lambung, dan penyakit jantung (Goleman, 1999). Emosi negatif yang berlangsung terus menerus juga berhubungan dengan sistem kekebalan melalui pengaruh hormon yang dilepaskan apabila seseorang mengalami stress. Katekolamain (adrenalin dan noradrenalin), kortisol, prolaktin, serta betaendorfin dan enkefalin semuanya dilepaskan ketika terjadi rangsangan emosi negatif. Masing-masing mempunyai pengaruh kuat terhadap kekebalan dan stress menekan perlawanan sistem kekebalan (Goleman, 1999).
Puasa Ramadhan adalah satu upaya untuk memutus rangkaian panjang gelombang emosi negatif tersebut. Setelah hampir sebelas bulan otak kita penuh dengan gelombang emosi negatif yang sangat panjang, Ramadhan datang dan berperan sebagai pereda, memotong gelombang emosi negatif yang meracuni otak kita. Syarat Ramadhan, yang penuh dengan taburan pahala dan pengampunan dosa, dengan menahan diri dari nafsu manusia dan memperbanyak ibadah, membuat kita berlomba-lomba melakukan ritual keagamaan dengan kuantitas dan kualitas yang makin meningkat. Kegiatan ritual serta upaya pengendalian diri berperan penting dalam “mengadu pikiran-pikiran yang memicu lonjakan emosi negatif”. Sehingga, gelombang emosi negatif yang menumpuk di otak sedikit demi sedikit memendek sampai akhirnya menghilang. Implikasinya adalah, ingatan kerja berjalan normal, pikiran lebih tenang, dan kondisi tubuh yang lebih sehat.
Selain mampu mengadu pikiran yang dapat memicu lonjakan amarah, rutinitas ritual yang semakin intensif juga melatih kedisiplinan diri. Menuntun manusia untuk mengatur waktu hidupnya dengan keseimbangan penuh antara kepentingan akherat dan duniawi. Ramadhan merupakan bulan penggodokan untuk mencetak orang-orang dengan perbuatan baik. Seperti yang dikatakan oleh seorang ahli, perbuatan baik akan cenderung menetap pada diri seseorang ketika selama 21 hari dia berhasil mendisiplinkan diri melakukan perbuatan tersebut. Ramadhan tidak hanya 21 hari, tapi sebulan penuh. Jika sebulan penuh kita mampu bertahan, niscaya, kita akan terlahir sebagai manusia baru.
Puasa Ramadhan juga memerintahkan kita untuk menahan haus dan lapar. Mengosongkan perut seharian berarti memberikan kesempatan bagi lambung dan alat pencernaan untuk beristirahat sejenak dari kerja seumur hidup, selain untuk belajar berempati terhadap derita sesama yang seringkali harus menahan rasa lapar dan dahaga karena ketidakberuntungan mereka.
Keberhasilan mengasah kepekaan sosial dan berempati kepada sesama, semakin melengkapi proses perjalanan panjang menuju fitrah manusia. Karena pada dasarnya, setiap manusia terlahir dengan kemampuan mimikri motor. Yaitu, kemampuan untuk ikut merasakan dan memahami pengalaman subjektif orang lain, empatheia (bahasa Yunani). Sering luput dari pandangan orang dewasa, seorang bayi akan ikut menangis jika mendengar temannya sesama bayi menangis. Apabila anak lain terluka jarinya, seorang anak umur satu tahun mungkin juga akan mengulum jarinya sendiri untuk mengetahui apakah ia juga terluka. Jika anak melihat ibunya menangis, si anak mungkin akan menghapus matanya meskipun sebenarnya ia tidak mengeluarkan air mata. Bayi memberi reaksi akan adanya gangguan terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya, seolah-olah gangguan itu ditujukan kepadanya. Dan setelah bayi berusia dua setengah tahun, mimikri motor hilang dari repertoar mereka. Selanjutnya, kepekaan emosi akan sangat tergantung kepada pola asuh orang tua dan lingkungan sekelilingnya.
Empati akan berkaitan erat dengan tindakan moral, apabila empati terasah sejak dini. Semakin besar empati yang dirasakan seseorang terhadap orang lain, maka semakin besar kecenderungan orang tersebut untuk bertindak membantu kesulitan orang tersebut.
Puasa Ramadhan juga mengajarkan empati dengan mengasihi sesama, memperbanyak amal, dan mengasah kepekaan sosial. Seandainya pada bulan ini semua orang berhasil mengasah perasaan dan pemahaman subjektif terhadap orang lain, maka tidak mustahil hal tersebut akan membawa implikasi bagi kesejahteraan bangsa.
Puasa Ramadhan adalah suatu meta mood yang mengandung arti sebagai suatu perhatian terus menerus terhadap keadaan batin, introspeksi diri, melakukan pengamatan dan menggali pengalaman diri, termasuk mengelola emosi. Instrospeksi diri sendiri memungkinkan munculnya kesadaran terhadap pengendalian perasaan yang penuh hasrat nafsu duniawi.
Puasa Ramadhan yang dimaknai dengan sepenuh hati dengan kejujuran dan keikhlasan yang dalam mampu membuat kita menemukan inti dan makna hidup. Meskipun hidup dan berproses di tengah ketidakpastian zaman, tetapi apabila masing-masing orang mampu membersihkan hati dan mengasah kepekaan nurani, maka auranya akan tersebar dan mengimbas pada orang-orang yang ada di sekelilingnya. Ibarat teratai putih di kolam keruh, warnanya yang putih akan tetap putih dan bersinar indah meskipun dikelilingi keruhnya air kolam.
Akhirnya, semoga puasa romadhon menjadikan peningkatan kualitas kemanusiaan kita, sehingga kita terlahir kembali dan memiliki kekuatan, ketabahan, kesabaran untuk menghadapi tantangan ke depan yang kian berat. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tanggepin pah bae...